Sunday, May 3, 2009

Sakit Kepala Kronis, Risiko terkena Depresi

Sakit Kepala Kronis, Risiko terkena Depresi

Health News

Walaupun terkesan sepele, sakit kepala dapat memicu depresi. Bahkan, orang dengan nyeri kronis seperti migrain dan nyeri sendi berisiko lebih tinggi melakukan aksi bunuh diri.

Sakit kepala dapat mnyerang siapapun, kapan pun dan dimana pun. Pekerjaan kantor yang menumpuk, terjebak kemacetan lalu lintas, hingga mengurus anak bisa memicu kepala nyut-nyutan.

Pada tingkat yang ringan, sakit kepala biasanya akan sembuh setelah beberapa saat setelah mengonsumsi obat sakit kepala atau selepas tidur beberapa jam. Namun, lain halnya dengan sakit kepala kronik seperti migrain yang bisa berlangsung dalam beberapa tahap.

Selain gejala sakit kepala, migrain kompleks bisa disertai mual, muntah, diare, fotofobia (fobia terhadap cahaya terlalu terang), dan skotoma (pandanagn terhalang atau tidak bisa melihat beberapa saat). Pada beberapa penderita terkadang disertai gejala muntah, wajah pucat, badan lemah dan berkeringat, pendengaran sensitif (fonofobia), dan kulit kemerahan. Bahkan, ada juga yang mengalami komplikasi migrain dan stroke sementara, yakni lumpuh sebelah badan selama beberapa saat.

Jika Anda mengalami sakit kepala yang demikian tentu tak boleh dianggap enteng. Tak hanya berdampak secara fisik, aspek psikologis pun dapat terganggu. Sebuah penelitian yang dimuat dalam jurnal medis Neurology melaporkan, sakit kepala kronis (terutama migrain dan nyeri kronis lainnya) dapat meningkatkan risiko gangguan depresi pada wanita, apalagi bila disertai beberapa gejala somatik (gejala fisik ynag bersumber dari masalah psikologis, bukannya fisik).

"Sejumlah studi menunjukkan bahwa penderita sakit kepala punya kecenderungan yang mengerah pada depresi. Di sini kami menyertakan aspek somatik. Sebelumnya hany diteliti dalam skala kecil," kata salah seorang tim peneliti dari The University of Toledo-Helath Science Campus di Ohio, Dr Gretchen E Tietjen.

Jika seseorang hanya mengeluhkan sakit kepala kronik tanpa gejala somatik, potensi untuk menjadi depresi lebih kecil dibanding kombinasi anatara sakit kepala ringan dengan gejala somatik. nah, saat kepala mulai terasa sangat sakit dan gejala somatik menghebat, risiko depresi kian nyata.

Hasil penelitian yang dilakukan terhadapt 1.000 wanita pusat sakit kepala tersebut menyebutkan, sakitkepala kronis meningkatkan perbandingan tingkat depresi sebesar 3,6 kali, dan 4,1 kali untuk jenis sakit kepala migrain. Jika disertai gejala somatik, rasionya meningkat menjadi 25,1 untuk semua tipe sakit kepala dan 31,8 untuk migrain.

Gejala somatik dinilai menggunakan kuesioner yang meliputi gejala, seperti sakit perut, sakit pada tungkai dan lengan, sulit tidur, mual, dan jantung berdebar. "Orang dengan sakit kepala kronis cenderung memiliki banyak keluhan somatik seperti mual, sakit panggul, dan fibromyalgia, yang mana dapat meningkatkan risiko depresi," kata Tietjen.

Mengingat bukti kerentanan depresi pada orang dengan nyeri kronis, peneliti dari Universitas Michigan Ann Arbor pun lantas mengaitkannya dengan upaya percobaan bunuh diri pada orang yang kerap didera nyeri hebat tersebut. Kesimpulannya, orang yang menderita nyeri kronis seperti sakit kepala kronis dan radang sendi (arthritis) berisiko empat kali lebih tinggi untuk melakukan aksi bunuh diri ketimbang rekan sebayanya yang sehat.

Studi yang dipublikasikan dalam jurnal General Hospital Psychiatry edisi November/ Desember 2008 itu melibatkan partisipan 5.700 orang dewasa di Amerika. Peneliti mendapati bahwa pria dan wanita yang kerap mengalami sakit kepala berisiko dua kali lipat melakukan perilaku yang mengarah pada bunuh diri, baik memikirkannya saja ataupun sudah mencoba melakukan usaha bunuh diri. peluang ini meningkat pada partisipan yang mengeluhkan nyeri lebih dari satu.

Sebanyak 14% partisipan dengan tiga atau lebih kondisi nyeri mengaku pernah terbesit untuk mengakhiri hidup dengan bunuh diri, dan hampir 6% yang melakukan usaha bunuh diri.

"Nyeri merupakan salah satu faktor yang mungkin membuat seseorang merasa tidak punya harapan dan kurang optimis akan masa depan dan dengan demikian meningkatkan kesempatan mereka untuk berpikir tentang bunuh diri," ungkap kepala tim penelit dari rumah sakit Ann Arbor VA, Dr mark A Ilgen.